Kamis, 27 Februari 2014

Manusia ialah gelas-gelas istimewa

Surat balasan untuk Ajeka
Halo lagi Ajeka, aku harap kamu sudah mandi dan setidaknya sudah menggunakan wewangian minimal dua galon sebelum membaca suratku ini. Bukan apa-apa aku takut kamu akan semakin dekil terkotori melalui jawabanku ini.

Mari kita mulai,
*Uhuk* anggap saja aku ini konsultan kehidupan untuk ses(a)at.
Aku panggil saja kamu ‘dek’ ya, biar kamu ngerasa terus lebih muda dan aku merasa lebih bertanggung jawab dengan umurku saat ini.
Jadi begini mengenai perubahan yang dek jeka tanyakan pada kutipan surat yang dek jeka tulis sebelumnya padaku.
 
*klo gak jelas diklik aja*
source: blognya Jeka

Menanggapi kata ‘perubahan’ dek Jeka sebetulnya mengingatkanku juga pada apa yang aku alami beberapa bulan ke belakang. Ketika aku sendiri merasa sudah banyak yang berubah dengan lingkungan sekitarku, mulai dari adik perempuanku yang mulai menstruasi dan sekarang udah harus pake BH kemana-mana, lalu teman-teman seangkatan kuliahku yang lagi trend cari kerja disana-sini sementara aku masih terjebak di labirin gelap kampus, juga seseorang yang aku dulu kasihi meninggalkanku pergi tanpa selebrasi, minimal potong tumpeng atau tiup lilin dulu lah ya.

Menanggapi itu semua tentunya sebagai manusia biasa aku pun panik, mereka berubah sementara aku rasanya tak bergerak sedikitpun dan hanya mengikuti gaya gravitasi bumi, terdiam mematung, dikerubungi lalat, juga mati dengan lidah menjulur  hingga ke dalam tanah.

Tapi ketahuilah dek, kita tak se-menyedihkan itu, sesungguhnya kita pun berubah tanpa kita sadari. Karena setiap kedipan, setiap tarikan dan hembusan nafas manusia pada hakikatnya tak pernah ada yang sia-sia. Bagiku manusia dianalogikan dengan sebuah gelas yang tak pernah kosong, dan akan selalu ada hal apapun yang mengisinya. Jika bukan air jernih yang mengisinya, mungkin air kopi, jus mangga, jus jeruk, jus rambutan atau sekedar air teh yang sederhana. Bahkan tanpa air yang mengisinya pun debu-debu yang dibawa udara akan mengisinya.

Jadi, tak perlulah iri bahkan dengki untuk ingin terlihat seperti orang lain. Mungkin mereka sukses tampil sebagai mahasiswa/i ketje di kampusnya, tapi mereka belum tentu sepiawai dek Jeka memainkan tetris battle di facebook. Pun begitu dengan aku, mungkin teman-temanku trendi dengan mencari kerja, tapi mereka tak selihai aku dalam menikmati akhir masa-masa remaja. Tapi tentu saja dunia selalu menuntut kita seperti apa yang banyak manusia lakukan, dan itu ialah hal yang sebetulnya aku benci dari dulu.

Siklus manusia pada umumnya (Lahir-bayi-anak kecil-remaja-dewasa-tua-mati). Pada setiap fase itu tentunya selalu ada tuntutan-tuntutan apa yang harus dikerjakan, jangan bimbang buatlah semuanya sederhana, karena kehidupan itu sesungguhnya istimewa bahkan penuh dengan kejutan. Mengenai siklus itu pun juga kan hanya formalitas dan sebatas teori, bisa saja kata “mati” itu tiba-tiba menjadi fase ke-2, ke-3, ke-5 atau memang seperti begitu adanya. Yang terpenting kita bisa menikmati setiap fasenya, pun begitu dengan fase mati, mungkin sekarang dek Jeka akan bilang klo aku gila, dan bergumam “bagaimana mungkin kematian bisa dinikmati?” tapi aku juga yakin dek Jeka pasti tau bagaimana caranya membuat mati akan terasa nikmat. Benar! dengan “mempersiapkannya”.

Oke kembali ke persoalan, Intinya, tak perlulah terlalu dipusingkan dengan ingin tampak seperti orang lain, karena kamu adalah gelas kosong yang akan kamu isi dengan apapun yang ingin kamu nikmati. Dan setiap manusia ialah gelas-gelas yang istimewa. Selama kamu bisa menikmati hidup, maka selama itu pula hidupmu akan menyenangkan. Sederhananya lakukan saja apa yang kamu bisa lakukan (usaha), maka Tuhan akan melakukan apa yang kamu tak bisa (dengan berdo'a).

Sekian dulu ya dek Jeka, sebelum semua tambah ngaco. Semoga kamu bisa mengambil hikmah dari setiap kalimatnya, klo gak ada hikmah yang bisa diambil, ya ambil enaknya aja. :p


Salam,
Bani yang lagi mabok jamu buyung upik.

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Jejak