Sabtu, 08 Februari 2014

Kembali

Harus dengan kalimat apa aku mengawali surat ini. Surat atas rasa cinta, kekaguman, juga pernyataan perasaan sayang yang kini kian hebat menjadi bait-bait kerinduan kepadamu. Kepada Kakekku yang kini terbaring dalam lelapnya kesejatian takdir untuk makhluk bernyawa. Kini hanya nisan yang menandai keberadaanmu, dengan pusara sebagai rumah dimana kau tinggal dalam nyata ini.

Bulan Juni tahun 2013 lalu menjadi bulan tanpa pancaran sinar akibat puluhan pelayat yang menutupi sang surya untuk memberikan cahayanya. Gelap kian merangkap bersama tangisan-tangisan sendu yang terus menderu. Irama-irama suara manusia yang merapal untaian do’a semakin menyadarkanku bahwa ini semua memang benar-benar nyata.

Kepada kakekku yang saat ini memang tak mungkin membaca surat ini dengan sorot teduh matamu, sungguh aku rindu akan hadirmu disini. Maafkan aku yang teramat menyesal tak hadir di detik-detik engkau benar akan pergi dari kehidupan dunia ini. Aku yang terlalu bodoh untuk membaca kapan maut sekiranya akan menghampirimu, atau aku yang terlalu optimis akan kembalinya kesehatanmu dulu, sekali lagi maafkan aku yang tak berada di sisimu kala itu.

Teringat akan masa-masa dimana aku merawatmu di sebuah ruangan rumah sakit di kota ini. Gundah gelisah serta raungan kata sakit yang senantiasa engkau lontarkan setiap malam membuat aku terjaga dan sering menatapmu iba. Tak banyak yang bisa aku perbuat memang selain mendekap erat kepalan tanganmu dan berucap kalimat yang sama di samping telingamu, “istighfar kek, Allah sedang menggugurkan dosa dan meninggikan derajatmu”. “Allah..AllAH..Allah..Allah..”  dengan suara yang mengalun pelan engkau terus berucap dari lisanmu hingga perawat  datang. Butiran obat masuk ke mulutmu, tajam jarum suntik menusuk kulit keriputmu membuatmu mampu tertidur pulas hingga pagi menjelang. Hanya air mata berlinang kembali meluncur membuat dingin basah di kedua pipi ku untuk mewakili bagaimana perasaanku pada saat itu.

Saat pagi datang, selalu ada senyuman darimu yang membuat aku berpikir keadaanmu kian membaik. Aku merasa bahagia akan saat-saat dimana aku menyuapimu sarapan  dan  melihatmu kian lahap menyantap setiap sendokan nasi yang aku tawarkan.

Tiba suatu saat dimana aku beserta orang-orang yang mencintai dirimu merasa lebih lega setelah mendengar kabar bahwa dokter mengijinkamu untuk bisa kembali pulang seperti yang engkau cita-citakan . Aku kira ini akan benar-benar membaik, hingga aku memutuskan untuk kembali ke kediamanku dan melanjutkan aktifitas-aktifitasku.

Namun beberapa minggu setelah engkau kembali,  pada sebuah malam yang aku pikir biasa saja, telpon rumah berdering sekitar pukul setengah sebelas malam. Saat itu ibuku yang mengangkat telpon. Aku diam-diam memperhatikan nada suara ibuku yang tak biasa, ada isakan tangis yang semakin lama menjadi lirih. Beberapa kalimat yang aku tangkap memberiku petunjuk akan firasat yang tak mengenakan hati, ‘Innalillahi wa Innailahiroji’un’  ‘kapan’ ‘kesana’ ‘kuat’.  Sesaat setelah bunyi gagang telpon tertutup, aku segera menghampiri ibuku yang tampak terkulai lemas, “Ada apa mah?” kataku. Ibuku  hanya bilang bahwa keadaanmu sedang gawat dan kita harus segera bergegas menuju rumahmu.

Setelah melakukan perjalanan satu jam, kami pun tiba di depan pintu rumahmu. Pintu yang seharusnya tertutup jika sudah tengah malam seperti saat itu, kini terus terbuka dan membiarkan udara malam masuk. Ini begitu ganjil yang sekaligus menjadi ganjal  untuk membuat kakiku terasa ringan memasuki rumahmu dengan perasaan biasa. Langkah demi langkah akhirnya menyampaikan aku pada jawaban akan pertanyaan yang menjadi teka-teki sedari tadi. Disana aku temui dirimu yang sedang terbaring dengan beberapa lapis ‘kain samping’ bermotif batik yang  menyelimuti tubuhmu hingga ujung kepala. Menangis, itu yang aku lakukan saat melihatmu seperti itu. Rupanya pintu rumahmu yang sedari tadi terbuka itu mengisyaratkan bahwa engkau memang telah kembali yang benar-benar kembali, engkau telah pulang yang benar-benar pulang.

Selamat jalan kakekku, hanya do’a yang bisa aku kirimkan saat rindu terasa begitu menggebu. Semoga kita berjumpa lagi di alam yang membuat kita terus mampu merasakan bahagia, dan tak pernah membuat kita terpisahkan lagi dengan kata ‘kembali’.

Tertanda,
Cucumu yang sedang rindu.

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Jejak