Minggu, 02 Februari 2014

Untuk Tuan Pohon Kayu

Sore ini tak biasanya aku menyiapkan dua cangkir kopi untuk menemaniku duduk di teras rumahku. Bukan karena ada tamu, tapi karena ini...

Hai pohon kayu..
Maaf aku sudah lancang untuk mengirim surat padamu, padahal berkenalan dan menjabat tanganmu saja belum pernah kita lakukan.
Hai pohon kayu, apa kau tidak merasa pegal untuk terus berada pada titik yang sama? Apa kau tidak iri satu kalipun melihat kami para manusia terus berlalu lalang disekitarmu?

Apa mungkin sebenarnya kamu ingin menghampiriku saat sore setiap kali aku duduk-duduk di teras menikmati senja dengan secangkir kopi? Aku pun sesungguhnya ingin mengajakmu untuk bergabung dan berbincang, karna aku terkadang bosan berbicara dengan manusia sepertiku. Aku kadang merasa tak enak cerita pada mereka karna mereka bisa mengerti bahasaku dan mungkin saja suatu saat ia mengumbar rahasia-rahasiaku.

Tapi bolehkah aku memanggilmu tuan pohon kayu? Maaf sebelumnya jika aku salah membuat sebutan untukmu, karena saat di sekolahku dulu aku tak pernah diajari membedakan jenis pohon jantan ataupun pohon betina. Semoga kau berkenan.

Tuan pohon kayu, sesungguhnya aku sempat dalam kebiasaan ngopi soreku itu menerka-nerka dirimu, maaf untuk kelancanganku ini lagi.
Dalam anganku, untuk menjadi besar dan kuat seperti dirimu saat ini tentulah tidak mudah. Engkau tak dibesarkan seperti aku yang manusia. Aku dibesarkan oleh kedua orangtuaku yang senantiasa memberi asupan gizi juga kasih sayang sehinga aku mampu untuk tumbuh dan berkembang. Sementara dirimu, engkau harus tumbuh sendiri melalui bertahan dengan keadaan sekelilingmu yang tentunya tak bisa kau pilih. Karena akan sia-sia meski kau tak suka sekalipun, kau tak memiliki kedua kaki untuk berlari.

Aku membayangkan dirimu saat kau kecil, yang mungkin saja tak sengaja terinjak oleh kaki-kaki ceroboh kami. Dari garis-garis guratan yang ada pada tubuhmu wahai pohon kayu, pastinya sudah banyak malam yang kau lewati dengan kesendirian. Tak peduli gelap, terang, gerimis atau bahkan badai, engkau pada akhirnya mampu menjadi kuat dan berdiri kokoh seperti yang aku lihat sekarang.

“Semakin tinggi pohon semakin kencang anginnya.” Itulah pribahasa yang selalu orang-orang disekitarku ucapkan saat aku merasa ujian kehidupan datang padaku mulai terasa berat. Pribahasa itu pula yang senantiasa mengingatkanku pada dirimu wahai tuan pohon kayu.

Aku ingin belajar sepertimu, tetap berdiri kokoh meski terkadang angin yang menerpa begitu kencang.
Aku ingin sepertimu, yang tak pernah memilih siapa yang berteduh dibawahmu.
Aku ingin sepertimu, yang mampu mengurai udara kotor dan mengubahnya menjadi nafas kehidupan bagi banyak makhluk hidup di muka bumi.
Aku ingin sepertimu, yang tak berlari dari kesendirian, kesunyian, dan mampu menghadapinya dengan penuh rasa syukur terhadap apapun yang menjadi pemberianNya.

Aku belajar bahwa dari gerimis, hujan besar, bahkan dari kepedulian seseorang yang menyirammu pada intinya kita hanya butuh air yang menjadi unsur utama apa yang sesungguhnya kita perlukan. Masalah kecil, masalah besar, maupun pembelajaran dari seseorang yang peduli dan memberi kita nasihat, pada intinya kita hanya butuh hikmah untuk bertahan hidup dan semakin kokoh dengan jalan hidup yang kita yakini.

Terimakasih tuan pohon kayu yang membuatku berdiskusi dengan hati nurani, diammu bukanlah tak berarti. Kami saja yang terlalu sibuk hingga kehabisan waktu untuk mencari arti.

Untuk sore ini, sebagai rasa terimakasihku dan permintaan maaf atas kelancanganku padamu tuan pohon kayu. Maka izinkan aku menyirammu dengan secangkir kopi yang memang sengaja aku siapkan untukmu sedari tadi.

di Teras Rumahku, 2 Februari 2014
Dari seorang lelaki yang suka berbagi kopi untuk apapun yang ia cintai.
Bani s Nur Kholiq


1 komentar:

Tinggalkan Jejak