Hai pohon kayu..
Maaf aku sudah lancang untuk
mengirim surat padamu, padahal berkenalan dan menjabat tanganmu saja belum
pernah kita lakukan.
Hai pohon kayu, apa kau tidak merasa
pegal untuk terus berada pada titik yang sama? Apa kau tidak iri satu
kalipun melihat kami para manusia terus berlalu lalang disekitarmu?
Apa mungkin sebenarnya kamu ingin
menghampiriku saat sore setiap kali aku duduk-duduk di teras menikmati senja
dengan secangkir kopi? Aku pun sesungguhnya ingin mengajakmu untuk bergabung dan
berbincang, karna aku terkadang bosan berbicara dengan manusia sepertiku. Aku
kadang merasa tak enak cerita pada mereka karna mereka bisa mengerti bahasaku
dan mungkin saja suatu saat ia mengumbar rahasia-rahasiaku.
Tapi bolehkah aku memanggilmu tuan
pohon kayu? Maaf sebelumnya jika aku salah membuat sebutan untukmu, karena saat di sekolahku dulu aku
tak pernah diajari membedakan jenis pohon jantan ataupun pohon betina. Semoga
kau berkenan.
Tuan pohon kayu, sesungguhnya aku
sempat dalam kebiasaan ngopi soreku itu menerka-nerka dirimu, maaf untuk kelancanganku
ini lagi.
Dalam anganku, untuk menjadi besar
dan kuat seperti dirimu saat ini tentulah tidak mudah. Engkau tak dibesarkan
seperti aku yang manusia. Aku dibesarkan oleh kedua orangtuaku yang senantiasa
memberi asupan gizi juga kasih sayang sehinga aku mampu untuk tumbuh dan
berkembang. Sementara dirimu, engkau harus tumbuh sendiri melalui bertahan
dengan keadaan sekelilingmu yang tentunya tak bisa kau pilih. Karena akan sia-sia
meski kau tak suka sekalipun, kau tak memiliki kedua kaki untuk berlari.
Aku membayangkan dirimu saat kau
kecil, yang mungkin saja tak sengaja terinjak oleh kaki-kaki ceroboh kami. Dari
garis-garis guratan yang ada pada tubuhmu wahai pohon kayu, pastinya sudah
banyak malam yang kau lewati dengan kesendirian. Tak peduli gelap, terang,
gerimis atau bahkan badai, engkau pada akhirnya mampu menjadi kuat dan berdiri
kokoh seperti yang aku lihat sekarang.
“Semakin tinggi pohon semakin
kencang anginnya.” Itulah pribahasa yang selalu orang-orang disekitarku ucapkan
saat aku merasa ujian kehidupan datang padaku mulai terasa berat. Pribahasa itu
pula yang senantiasa mengingatkanku pada dirimu wahai tuan pohon kayu.
Aku ingin belajar sepertimu, tetap
berdiri kokoh meski terkadang angin yang menerpa begitu kencang.
Aku ingin sepertimu, yang tak
pernah memilih siapa yang berteduh dibawahmu.
Aku ingin sepertimu, yang mampu mengurai
udara kotor dan mengubahnya menjadi nafas kehidupan bagi banyak makhluk hidup di muka bumi.
Aku ingin sepertimu, yang tak
berlari dari kesendirian, kesunyian, dan mampu menghadapinya dengan penuh rasa syukur
terhadap apapun yang menjadi pemberianNya.
Aku belajar bahwa dari gerimis,
hujan besar, bahkan dari kepedulian seseorang yang menyirammu pada intinya kita
hanya butuh air yang menjadi unsur utama apa yang sesungguhnya kita perlukan.
Masalah kecil, masalah besar, maupun pembelajaran dari seseorang yang peduli
dan memberi kita nasihat, pada intinya kita hanya butuh hikmah untuk bertahan hidup
dan semakin kokoh dengan jalan hidup yang kita yakini.
Terimakasih tuan pohon kayu yang membuatku berdiskusi dengan hati nurani, diammu bukanlah tak berarti. Kami saja yang terlalu sibuk hingga kehabisan waktu untuk mencari arti.
Untuk sore ini, sebagai rasa
terimakasihku dan permintaan maaf atas kelancanganku padamu tuan pohon kayu. Maka izinkan aku menyirammu dengan
secangkir kopi yang memang sengaja aku siapkan untukmu sedari tadi.
di Teras Rumahku, 2
Februari 2014
Dari
seorang lelaki yang suka berbagi kopi untuk apapun yang ia cintai.
Bani s
Nur Kholiq
Tuan pohon kayu? haha keren bro =)
BalasHapus