Minggu, 09 Maret 2014

Bukan Orang Jahat yang Banyak, Tapi Orang-orang Baik yang Diam


Pernahkah tersirat dalam benakmu, bahwa zaman ini memang begitu edan?

Ketika tak hentinya segala macam media memberitakan keburukan setiap harinya. Bahkan ketika baru saja tadi pagi kamu membuka mata dan melihat layar televisi, yang pertama kali kamu temui ialah berita-berita kriminal. Haruskah sepagi itu kita menyantap sarapan dengan menu yang begitu mengerikan?  Piring kosong dalam kepalamu yang seharusnya terisi dengan inspirasi, semangat hidup, juga rasa syukur itu harus  ditukar paksa dengan rasa takut, kengerian, dan hilangnya rasa percaya bahwa bumi yang kau pijak ialah tempat terbaik yang Tuhan anugrahkan pada Adam beserta turunannya.

Sudah seporak poranda itukah negri ini? Bukankah kita selalu kuat dan serta merta saling bahu membahu saat banjir, gunung meletus, gempa dan tsunami hadir di negri ini atas nama “kemanusiaan”? Lantas jika bencana alam datang kita bisa menyingsingkan lengan baju kita, lalu kenapa saat bencana-bencana “kemanusiaan” hadir kita hanya menjadi penonton, dan mudah mengekor pada arus deras komunikasi yang ada.

Benarkah kata "kemanusiaan" kah yang selalu kita dengungkan? Saat kita lebih peduli pada kematian seekor kucing atau anjing dan menghakimi pembunuhnya dengan umpatan ramai-ramai. Namun ketika banyak awan gelap mengepung cerahnya sinar matahari pada bibit-bibit bangsa diam saja, pohon kecil tak akan tumbuh subur jika melulu harus dihujani air namun tanpa mendapat cahaya. Pohon kecil akan mati, jika air yang menyiraminya terlalu membanjir.

Tak setiap orang memiliki filter yang baik, tak setiap orang memilki payung yang layak ketika rinai hujan begitu deras. Ketahuilah energi negatif mampu menyebar luas ,cepat, merata, dari tingginya bukit-bukit subur hingga lembah yang kering.

Benarkah jika negri ini dihuni dengan mayoritas orang-orang jahat? Aku rasa bukan, di zaman ini mungkin orang-orang baik terlalu sibuk menyembunyikan kebaikannya, atau mungkin orang-orang jahat yang terlalu senang menampilkan keburukannya. Bisa jadi juga kita yang sering memamerkan keburukan dan tak jarang malah merasa bangga akan hal itu tanpa kita sadari. Para setan pun semakin gigih menghasut dengan segala cara. salah satunya ialah dengan membisiki banyak hati manusia dengan kalimat “Sudahlah, tak perlu bicara kebaikan, kebenaran, ataupun sejenisnya, nanti kamu dianggap riya, dianggap sok suci, dianggap sok benar, dan dapat mengurangi pahala keihklasanmu.” Maka jika ada bisikan ini mengganggu hatimu, tutup telingamu dan niatkanlah semoga kebaikan yang kau tampakan menjadi ajakan untuk kebaikan-kebaikan yang akan diteruskan oleh banyak orang.

Atau mungkin pihak-pihak media yang terlalu suka menyoroti kejahatan, kebencian, peperangan, dan keburukan? Entahlah,  satu sisi ada benarnya namun di sisi lain juga tak begitu adanya. Karena kebanyakan media kini tampak lebih peduli dengan berita-berita yang kebanyakan orang memang menyukai dan meminatinya. Dengan kata lain media hanyalah penyedia panggung. Kebaikan atau keburukan yang menjadi aktor untuk memainkan peran diatasnya tergantung kita sebagai pasar mereka yang menginginkannya. Budaya mencaci, menghakimi, menelisik bahkan mengusik kehidupan orang lain terus hidup setiap harinya. Dan setiap detik pula rantai estafet negatif itu terus bergerak dari satu kepala ke kepala lainnya.

Maka sudah selayaknya berbagai pihak saling bekerja sama membangun arus informasi yang lebih jelas dan mengkaji ulang apa arti kebebasan dalam jalur kesejatian hak asasi manusia itu sendiri.  Media yang semakin mensupport dan lebih meyoroti hal-hal positif, juga masyarakat yang semakin cerdas dalam menanggapi isu-isu di sekililingnya. Dengan begitu keburukan akan mati dengan sendirinya dan paradigma manusia-manusia dengan keramah-tamahannya kembali menjadi modal bahwa dunia ini  hanyalah tempat bagi menanam kebaikan.

Jadi, masih maukah kita menjadi seorang yang hanya bisa mencaci, menghakimi padahal masih banyak hal yang lebih penting untuk kita tanggapi?
Masih maukah kita menyembunyikan kebaikan yang seharusnya menjadi pemicu kebaikan lainnya?

Sudah saatnya kita saling bercermin, saling menguatkan. Kembali membangun rasa saling percaya, kembali membangun peradaban yang lebih layak dihuni sebagai mestinya. Jika bukan dimulai dari kita, siapa lagi? Jika bukan saat ini, kapan lagi?

***
terinspirasi dari tweet teman saya, @mas_aih. terimakasih Galih.



2 komentar:

  1. Good POV. Semoga semakin banyak yg mampu memfilter informasi yg dia terima :]

    BalasHapus
  2. nice info .karena kejahatan itu lebih mudah diinget gan ;D visit balik ya

    BalasHapus

Tinggalkan Jejak