Siang itu, hiduplah seorang lelaki seperti biasanya.
Panasnya udara Bandung beserta bisingnya kendaraan bermotor di tengah kemacetan
membuat pria itu ingin sekali membuka pakaiannya lalu ikut panjat pinang,
sayangnya hari itu sedang tidak ada 17 Agustusan karena memang bukan bulang Agustus, sehingga menyebabkan pria itu hanya bisa
bersabar.
Pria tersebut tidak lain adalah aku yang menceritakan kisah ini sekarang. Juga aku yang barangkali pernah mencintai kamu, atau suatu saat nanti
bisa saja akan mencintaimu dan
mengajakmu hidup bersama selamanya, ya atur-atur aja asalkan kamu itu wanita dan kita cocok
serta Tuhan takdirkan pastinya.
Kembali pada siang itu, sebuah siang dimana aku baru saja
pulang dari kerja serabutanku, tak usah aku ceritakan aku kerja apa, karena itu tak akan membuat
gajiku naik. Aku sedang dibuat
kesal oleh kemacetan dan tentunya membuat aku ingin segera sampai ke rumah untuk segera tiduran di ubin dan mendinginkan suhu badan serta isi kepalaku yang mulai
kepanasan.
Tapi sesampainya di rumah, henponku berdering dan rupanya ada
sms dari Mamahku. Isinya begini,
“Ban, mamah lagi nganter dulu nenek ke bank ngambil uang
pensiunannya kakek, kunci rumah dibawa mamah, kamu tunggu aja dulu di rumahnya
nenek.”
Aku jadi berpikir perempuan itu emang sukanya gunain duit
cowok, buktinya uang pensiunan almarhum kakekku yang udah wafat aja masih
mereka embat. Hmmm…
Aku yang saat itu kelelahan bisa saja protes dan marah-marah
kenapa kunci rumah gak mamah simpan aja di laci rumahnya nenek, dengan begitu
aku bisa langsung ke rumah dan tiduran di ubin. Bisa sebetulnya aku tiduran
juga di ubin rumah nenek saat itu, tapi aku suka malu kalau tiduran di ubin
yang bukan rumahku, lebih tepatnya rumah si mamah sih karena aku belum bisa
beli rumah sendiri.
Dengan alasan itu pula maka aku tidak protes terhadap
mamahku, dan menjawab pesan singkat tadi dengan kata “iya” saja. Aku harus tahu
diri kalau kunci rumah mamah bawa, toh itu memang rumah mamahku jadi terserah
dia mau kuncinya dibawa atau diapakan juga terserah, selama ini masih dikasih
tempat numpang aja udah syukur buat aku.
Rumah Nenekku dan Rumah Mamahku itu memang berdekatan, bisa
dibilang tetanggaan. Nah ditengah bengongnya aku menunggu Mamah dan Nenekku
pulang datanglah si Uwak Udung. (Uwak=Paman). Dia aku panggil Uwak karena ia adalah kakak
dari mamahku yang satu ibu tapi beda bapak. Maklumlah karena nenekku sebelum
menikahi kakekku pernah menikah dengan cowok lain, yang tentunya sekarang udah jadi
kakek-kakek lain. Begitupula kakekku sebelum menikah dengan nenekku dulu,
pernah menikah dengan cewek lain, yang tsekarang pasti sudah jadi nenek-nenek juga tapi tentunya
nenek orang lain bukan nenekku.
Dulu aku sempat galau juga ketika ditinggal pacar, tapi
melihat ketabahan nenekku yang ditinggal mati kakekku aku menjadi termotivasi
untuk kuat. Aku masih belum ada apa-apanya jika dibandingkan nenek.
Aku cuma ditinggal pergi, masih bisa aku kejar lagi. Nenek ditinggal mati, mau ngejar ke akhirat? Yakali.
Aku masih muda, bisa cari lagi. Nenek sudah tua giginya
tinggal dua tapi gak hinggap di jendela, mau cari lagi?
Tapi sempat sih saat teman-temanku datang ke rumah, aku
menawari salah satu teman. “Bro nenek gue galau nih semenjak kakek gue meninggal, lo mau gak nikah sama nenek
gue? Tar kan gue jadi manggil lo kakek.” Terus dia jawab “Dih, gue sih mau aja,
tapi gue gak sudi tar punya cucu kayak lo.” Sungguh itu jawaban yang menyakiti
hatiku.
Oh iyah, si Uwak udung itu ialah saudagar sayur di pasar
Caringin. Si Uwak datang ke rumah nenekku karena ada keperluan katanya. Jadilah kami berdua
menunggu di tengah rumah itu. Perawakannya gemuk, hitam, dan suka mengobrol
layaknya bandar-bandar sayur lainnya. Siang itu pun si Uwak mengajakku ngobrol
dengan membuka perbincangan kesana kemari.
Ia bercerita tentang solo karirnya sebagai bandar sayur.
Ia bertutur penuh semangat, sampai-sampai semangatnya masyarakat pas agustusan panjat pinang yang disuruh pak lurah juga rasanya kalau dibandingin si Uwak Udung ini
bercerita sudah jauh kalah.
Dalam rasa bangganya serta ceritanya yang penuh aroma berbagi ilmu
tentang seluk beluk dunia bisnis persayuran itu aku bertanya, “Waaah..emang
Uwak udah berapa lama bisa jadi sehebat itu dalam bisnis sayur?” beliau menjawab “hahaha dari 1991 sampai 2006,
sekarang mah udah capek jadi diterusin si Udi. hahaha” Si Udi itu anaknya,
seumuran denganku, dan tentunya cucu dari neneku juga tapi beda kakek.
Ajaibnya, setiap kali aku bertanya lalu si Uwak menjawab, ia
selalu sambil tertawa dan menepuk bagian kakiku sebagai tanda keakraban.
Sialnya saat itu kakiku sedang bisulan, dan tiap tepukkan si Uwak yang menuju
kakiku selalu tepat mengenai bisulku itu. Duuh…
Kata Mamahku aku alergi telur, kalau makan telur mudah
sekali langsung muncul bisul. Entahlah barangkali itu mitos, sugesti, atau
betul adanya, yang jelas bisul yang kena tepuk itu sakit faktanya.
“Faaak…” kataku dalam hati, ingin sekali aku bilang kalau
yang si Uwak tepuk itu tepat mengenai bisulku, tapi aku diam saja karena gak enak
motong pembicaraan orang yang lebih tua, dan sayang sekali kalau ilmu tentang bisnis
sayur yang dibagikan si Uwak siang itu berganti topik jadi bisnis bisul.
Dipukulan pertama, mataku hanya berkaca-berkaca saja,
sebatang rokok aku nyalakan dan aku hisap untuk menenangkan aku yang agak
kesakitan. Si Uwak tidak ngeh dan melanjutkan cerita. Aku bertanya kembali “Wak,
emang sayur bisa bertahan berapa lama sih?” Ia terdiam, bukan gak bisa jawab,
tapi karena lagi minum. Kemudian setelah ia minum habis air di gelasnya ia pun
langsung menjawab pertanyaanku tadi, “Hahaha Sayur itu produk alam, bukan
pabrik jadi gak bisa disimpan berbulan-bulan, siang ini kita punya barang maka
malam nanti harus habis terjual, kalau gak ya keesokan harinya juga sudah
membusuk. Gitu ban..hahaha” “Ow-ow-ow kerasnya dunia sayur”, gumamku dalam
hati. Setelah menjawab itu sampai detail, Uwak aku lagi-lagi tertawa sendiri
dan menepuk kakiku lagi secara tiba-tiba.
Mataku kini mulai mengeluarkan air mata, sehingga si Uwak
memandangku karena gaya tubuhku yang menggunakan tanganku mengusap air mata
tersebut. Sambil keheranan si Uwak bertanya, “Hahaha Kenapa kok nangis ban?”
Aku dengan tenang menjawabnya, “Terharu wak, denger cerita uwak, bisnis sayur
rupanya besar sekali resikonya. Belum persaingan dengan pedagang lain, lalu sayur
yang membusuk, atau memang belum lagi sayurnya tidak laku. duuh..”
Setelah panjang lebar ngobrol dan yang ke entah berapa
kalinya ia menepuk tubuhku, karena tak hanya kaki tapi kadang juga si Uwak suka
menepuk pundak, atau lengan bagian atas sebagai keakraban, tiba-tiba terdengar
gemuruh suara petir. Suara itu menyebabkan aku berkata ke si Uwak, “Wak,
kayaknya bakal hujan ya?” Kemudian Ia terlihat bakal pulang dengan berdiri dari
duduknya, itu membuat perasaanku lega,
bahwa penderitaan sekaligus ilmu pengetahuan tentang bisnis sayur berakhir.
Benar saja, si Uwak Udung itu pamit sambil menjawab pertanyaanku yang tadi, “Hahaha
duh iya Ban, kayaknya Uwak harus segera pulang dulu aja, pakai motor soalnya. Hahaha.”
*PLAAAAK* si Uwak mendaratkan pukulan
ringan terakhirnya sambil melengos pergi tanpa memandangku lagi. Pukulan ringan
terakhirnya itu barangkali bagiku menjadi salah satu pukulan terberat dalam
hidupku, Tepat mengenai bagian bisulku lagi, aku merasa ada nanah dan darah
keluar, dengan kesakitan dan wajah berderai air mata aku ke kamar mandi. Benar
saja, bisulku pecah. AW-AW-AW..
Hujan di luar turun, aku bisa tahu karena bunyi suaranya
yang tik-tik-tik di atas genting.
Persis dalam lagu di masa kanak-kanakku dulu.
Mamahku dan Nenekku rupanya belum pulang.
Barangkali di jalan mereka dicegat bakso yang super enak dan
terpaksa beli sambil berteduh.
Ditulis di Bandung, yang sedang tanggal 5 Mei 2014